BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebelum Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya, didalam masyarakat adat telah terdapat penguasaan dan pemilikan
tanah yang diatur sesuai dengan ketentuan hokum adat yang berlaku dalam
masyarakat tersebut. Setelah Belanda
menjajah bangsa Indonesia,
belandamendatangkan peraturan hokum pertanahan yang berlaku di negaranya ke
Indonesia, yang kemudian diberlakukan terhadap masyarakat Indonesia.
Selain kedua peraturan mengenaihukum
tanah berada diindonesia diatas, pemerintahan belanda menciptakan pula hokum
tanah seperti agrarisch eigendom. Disamping itu, pemerintahan Swapraja
menciptakan pula hokum atas tanah yang berlaku didaerahnya, seperti grat
sultan. Dengan adanya tiga peraturan tersebut, timbulah “pluralistik” hak atas
tanah yang terdapat diindonesia.1 Menurut
budi harsono bahwa dengan adanya hak-hak tanah adat, hak atas tanah ciptaan
pemerintah swapraja, hak atas tanah ciptaan pemerintah belanda, bisa kita sebut
tanah hak Indonesia, yang cakupan pengertiannya lebih luas dari tanah-tanah hak
ada.
B.
Rumusan Masalah
·
Apa itu UU Agraria?
·
Apa hubungan UU Agraria dengan masalah
pendidikan?
C.
Tujuan Penulisan
·
Untuk mengenal UU Pertanahan Indonesia
·
Untuk mengetahui sinkronisasi antara masalah
Pertanahan dengan Pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
A.
SEJARAH PENGATURAN HUKUM AGRARIA DI INDONESIA
Dari
segi berlakunya, Hukum Agraria di Indonesia dapat dibagi menjadi 2 (dua), yaitu
:
·
Hukum
agraria Kolonial yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan berlaku sebelum diundangkannya
UUPA, yaitu tanggal 24 September 1960; dan
·
Hukum
Agraria nasional yang berlaku setelah diundangkannya UUPA.
Beberapa ketentuan hukum agraria
pada masa kolonial beserta ciri dan sifatnya dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Sebelum tahun 1870
a) . Masa VOC (Vernigde Oost
Indische Compagnie).
VOC didirkan pada tahun 1602 – 1799
sebagai badan perdagangan sebagai upaya guna menghindari persaingan antara
pedagang Belanda kala itu. VOC tidak mengubah struktur penguasaan dan pemilikan
tanah, kecuali pajak hasil dan kerja rodi. Menurut Urip Santoso, beberapa
kebijaksanaan politik pertanian yang sangat menindas rakyat Indonesia yang
ditetapkan oleh VOC, antara lain :
-
Contingenten
Pajak hasil atas tanah pertanian
harus diserahkan kepada penguasa kolonial (kompeni). Petani harus menyerahkan
sebgaian dari hasil pertaniannya kepada kompeni tanpa dibayar sepeser pun.
- Verplichte leveranten.
Suatu bentuk ketentuan yang
diputuskan oleh kompeni dengan para raja tentang kewajiban meyerahkan seluruh
hasil panen dengan pembayaran yang harganya juga sudah ditetapkan secara
sepihak.
-
Roerendiensten.
Keijaksanaan ini dikenal dengan
kerja rodi, yang dibebankan kepada rakyat Indonesia yang tidak mempunyai tanah
pertanian.
b) . Masa Pemerintahan Gubernur
Herman Willem Daendles (1800-1811).
Awal dari perubahan struktur
penguasaan dan pemilikan tanah dengan penjualan tanah, hingga menimbulkan tanah
partikelir. Kebijakannya itu adalah dengan menjual tanah-tanah rakyat Indonesia
kepada orang-orang Cina, Arab maupun bangsa Belanda sendiri. Tanah itulah yang
kemudian disebut tanah partikelir. Tanah partikelir adalah tanah eigendom yang
mempunyai sifat dan corak istimewa. Yang membedakan dengan tanah eigendom
lainnya ialah adanya hak-hak pada pamiliknya yang bersifat kenegaraan yang
disebut landheerlijke rechten atau hak pertuanan. Menurut Urip Santoso, hak
pertuanan antara lain :
·
Hak
untuk mengangkat atau mengesahkan kepemilikan serta memberhentikan kepal-kepala
kampung/desa;
·
Hak
untuk menuntut kerja paksa (rodi) atau memungut uang pengganti kerja paksa dari
penduduk;
·
Hak
untuk mengadakan pungutan-pungutan, baik yang berupa uang maupun hasil
pertanian dari penduduk;
·
Hak
untuk mendirikan pasar-pasar;
·
Hak
untuk memungut biaya pemakaian jalan dan penyebrangan;
·
Hak
untuk mengharuskan penduduk tiga hari sekali memotong rumput untuk keperluan
tuan tanah, sehari dalam seminggu untuk menjaga rumah atau gudang-gudangnya dan
sebagainya.
c) . Masa Pemerintahan Gubernur
Thomas Stamford Rafles (1811-1816).
Pada masa Rafles semua tanah yang
berada di bawah kekuasaan government dinyatakan sebagai eigendom government.
Dengan dasar ini setiap tanah dikenakan pahak bumi.Tujuan rafles dalam menata
system administrasi pertanahan dengan system domain, yaitu ingin menerapkan system
penarikan pajak bumi seperti apa yang dipergunakan oleh inggris di India.
d) . Masa Pemerintahan Gubernur
Johanes van den Bosch.
Pada tahun 1830 Gubernur Jenderal
van den Bosch menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan sistem Tanam
Paksa atau Cultuur Stelsel. Van den bosch dalam menjalankan system tanam paksa
ini, tetap mengacu kepada teori yang dilakukan oleh raffles sebelumnya,yaitu
tanah adalah nilik pemerintah, para kepala desa dianggap menyewa kepada
pemerintah, dan selanjutnya kepala desa meminjamkan kepada petani. Dalam sistem
tanam paksa ini petani dipaksa untuk menanam suatu jenis tanaman tertentu yang
secara langsung maupun tidak lengsung dibutuhkan oleh pasar internasional pada
waktu itu. Hasil pertanian tersebut diserahkan kepada pemerintah kolonial tanpa
mendapat imbalan apapun, sedangkan bagi rakyat yang tidak mempunyai tanah
pertanian wajib menyerahkan tenaga kerjanya yaitu seperlima bagian dari masa
kerjanya atau 66 hari untuk waktu satu tahun.
2. Sesudah tahun 1870 (hukum tanah
administratif Belanda).
a) . Agrarische Wet (AW) 1870.
Pada tahun 1870 lahirlah Agrarische
Wet yang merupakan pokok penting dari hukum agraria dan semua peraturan
pelaksanaan yang dikeluarkan pemerintah masa itu sebagai permulaan hukum
agraria barat. Ide awal dikelularkannya Agrarische Wet (AW) ini adalah sebagai
respon terhadap kaingina perusahaan-perusahaan asing yang bergerak dalam bidang
pertanian untuk berkembang di Indonesia, namun hak-hak rakyat atas tanahnya
harus dijamin. Tujuan dikeluarkannya AW adalah untuk membuka kemungkinan dan
memberikan jaminan hukum kepada para pengusaha swasta agar dapat berkembang di
Hindia Belanda.
b) . Agrarische Besluit (AB).
Ketentuan-ketentuan AW
pelaksanaannya diatur lebih lanjutan dalam peraturan dan keputusan. Salah satu
keputusan yang paling penting adalah apa yang dimuat dalam Koninklijk Besluit
(KB), yang kemudian dikenal dengan nama Agrarische Besluit (AB), S.1870-118. AB
hanya berlaku untuk Jawa dan Madura.
AB
terdiri dari tiga bab, yaitu ;
·
Pasal
1-7 tentang hak atas tanah;
·
Pasal
8-8b tentang pelepasan tanah;
·
Pasal
19-20 tentang peraturan campuran.
3. Hukum Tanah Perdata (Kitab
Undang-undang Hukum Perdata).
KUHPerdata yang berlaku di Indonesia
merupakan politik hukum Belanda yang memberlakukan KUHPerdata yang berlaku di
Belanda, dengan beberapa perubahan, berdasarkan asas konkordansi diberlakukan
di Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan hukum perdata di
Hindia Belanda harus juga diperhatikan politik hukum pemerintah Hindia Belanda
yang terapkan dalam pemberlakuan hukum bagi penduduk Hindia Belanda kala itu,
yaitu politik hukum penggolongan penduduk yang membagi golongan penduduk
menjadi tiga golongan sebagaimana dimakasud dalam Pasal Pasal 163 I.S.
(Indische Staatsregeling) yakni :
·
Golongan
Eropa dan dipersamakan dengannya;
·
Golongan
Timur-Asing; yang terdiri dari Timur Asing Golongan Tionghoa dan bukan Tionghoa
seperti Arab, India, dan lain-lain;
·
Golongan
Bumi Putera, yaitu golongan orang Indonesia asli yang terdiri atas semua
suku-suku bangsa yang ada di wilayah Indonesia.
Dengan
demikian di Indonesia terdapat hukum perdata yang beragam (pluralistis).
Pertama, terdapat hukum yang disesuaikan untuk segala golongan warga negara
seperti yang sudah diuraikan di atas :
·
Untuk
bangsa Indonesia asli, berlaku Hukum Adat, yaitu hukum yang sejak dahulu telah
berlaku di kalangan rakyat, yang sebagian besar masih belum tertulis, tetapi
hidup dalam tindakan-tindakan rakyat, mangenai segala soal dalam kehidupan
masyarakat.
·
Untuk
warga negara bukan asli yang berasal dari Tionghoa dan Eropa berlaku Kitab
Undang-udang Hukum Perdata (BW) dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang
(WvK), dengan pengertian, bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada
sedikit penyimpangan yaitu bagain 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai
upacara yang mendahului pernikahan dan mengenai “penahanan” pernikahan) tidak
berlaku bagi mereka, sedangkan untuk mereka ada pula “Burgirlijk Stand
tersendiri. Selanjutnya ada pula suatu peraturan perihal pengangkatan anak
(adopsi), karena hal ini tidak terkenal di dalam BW.
Sebagai
akibat politik hukum tersebut, maka sebagaimana halnya hukum perdata, hukum
tanah pun berstruktur ganda atau dualistik, dengan berlakunya bersamaan
perangkat peraturan-peraturan hukum tanah adat, yang bersumber pada hukum adat
yang tidak tertulis dan hukum tanah barat yang pokok-pokok ketentuannya
terdapat dalam buku II KUHPerdata yang merupakan hukum tertulis.
B.
PEMBAHARUAN HUKUM AGRARIA
Pada periode sesudah tahun 1942,
keadaan hukum agraria Indonesia menurut hukum adat tidak terlepas dari hukum
adat daerah setempat antara lain, perangkat hukumnya tidak tertulis, bersifat
komunal, bersifat tunai dan bersifat langsung. Sedangkan mengenai hak atas
tanah mengenal peristilahan yang lain ;
·
Hak
persekutuan atas tanah yaitu hak ulayat;
·
Hak
perorangan atas tanah
Pada masa kolonial ini tanah-tanah
hak adat tidak terdaftar, kalaupun ada hanyalah bertujuan untuk bukti setoran
pajak yang telah dibayar oleh pemiliknya, sehingga secara yuridis formal bukan
sebagai pembuktian hak.
Diproklamirkannya kemerdekaan
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta atas nama Bangsa
Indonesia mengakibatkan bangsa Indonesia memperoleh kedaulatan di tangan
sendiri. Pada masa itu pendudukan tanah oleh masyarakt sudah menjadi hal yang
sangat komplek karena masyarakat yang belum berkesempatan menduduki tanah
perkebunan dalam waktu singkat berusaha untuk menduduki tanah.
Sejak pengakuan keadulatan oleh
Belanda atas negara Indonesia, barulah pemerintah mulai menata kembali
pendudukan tanah oleh rakyat dengan melakukan hal-hal berikut:
·
Mendata
kembali berapa luas tanah dan jumlah penduduk yang mengusahakan tanah-tanah
perkebunan untuk usaha pertanian.
·
Pendudukan
tanah perkebunan yang hampir dialami oleh semua perkebunan lambat laun akan
menghambat usaha pembangunan kembali suatu cabang produksi yang penting bagi
negara serta memperlambat pesatnya kemajuan produksi hasil-hasil perkebunan
yang sangat diperlukan
·
Pemakian
tanah-tanah perkebunan yang berlokasi di daerah pegunungan tersebut dikuatirkan
akan menimbulkan bahayb erosi dan penyerapan air.
·
Pemakaian
tanah-tanah oleh rakyat di beberapa daerah menimbulkan ketegangan dan kekeruhan
yang membahayakan keamanan dan ketertiban umum.
Untuk itu, maka dikeluarkanlah
Undang-undang Nomor : 8 Tahun 1954 tentang : Penyelesaian soal Pemakaian Tanah
Perkebunan oleh Rakyat. Penyelesaian akan diusahakan bertingkat 2 (dua) sebagai
berikut :
·
Tahap
pertama; terlebih dahulu akan diusahakan agar agenda segala sesuatu dapat
dicarikan penyelesaiannya atas dasar kata sepakat antar pemilik perkebunan
dengan rakyat/penggarap;
·
Tahap
kedua; apabila perundingan sebagaimana dimaksud pada angka 1 (satu) tidak
berhasil, maka dalam rangka penyelesaian penggarapan tanah perkebunan tersbut
akan mengambil kebijakan sendiri dengan memperhatikan kepentingan rakyat dan
kepentingan penduduk.
Pada
tanggal 24 september RUU yang disusun oleh kerjasama antara Sajarwo sebagai
panitia, departemen agrarian, panitia ad hoc DPR, universitag Gadjah Mada
diterima dan disahkan oleh DPR-GR, dan diundangkan sebagai UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Kehadiran ini merupakan
suatu penantian yang panjang dari bangsa Indonesia akan asanya hokum agrarian
yang merupakan buatan dari bangsa sendiri. Pada tahun 1960 ini pulalah
pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Prp nomor
56 Tahun 1960 yang lazim dikenal dengan Undang-Undang Landreform).
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dengan mulai
berlakunya UUPA terjadi perubahan fundamental pada hokum agrarian Indonesia,
terutama hokum di bidang pertanahan. Perubahan ini bersifat mendasar dan
fundamental, karena baik mengenai struktur perangkat hiukumnya, mengenai
konsepsi yang mendasarinya, maupun isinya, yang dinyatakan dalam bagian
“Berpendapat” UUPA harus sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia serta
memenuhi pula keperluan menurut permintaan zaman.
B.
Kritik dan Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan
yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka
penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan
buku-buku ''SEJARAH'' lainnya yang berkaitan dengan judul diatas.
Kritik dan saran yang bersifat
membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami.
Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i
berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Landasan
Kependidikan. Jakarta : PT. Asdi Mahasatya.Slameto.2003.
Belajar
dan factor-faktor yang mempengaruhinya. Jakarta: PT. Rinekacipta.Sutikono,
Sobry. 2008.
Landasan
Pendidikan. Bandung: Prospect.Syah, Muhibbin. 1995. Psikologi pendidikan.
Bandung : Remaja Rosdakaya Offset.Syah, Muhibbin. 2005.
Psikologi
Belajar. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.[1] Departemen Pendidikan.
akibat UU Agraria bagi Indonesia itu apa???
BalasHapuskontennya bermanfaat!
BalasHapusbagus