BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Berbicara masalah pendidikan tentu
kita akan melihat kenyataan sekarang bahwa pendidikan di Indonesia sekarang
sedang mengalami sebuah proses untuk menjadi lebih baik lagi. Kita dapat
melihat dari beberapa kali pergantian
kurikulum yang terjadi di Indonesia.
Sekarang mulai diterapkannya kurikulum baru yang bernama KTSP, yang merupakan
penyempurnaan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya.
Pendidikan dalam arti luas adalah
proses yang berkaitan dengan upaya untuk mengembangkan pada diri sesorang tiga
aspek dalam kehidupannya, yakni, pandangan hidup, sikap hidup dan keterampilan
hidup. Dalam upaya untuk mengembangkan tiga hal tersebut dapat dilakukan di sekolah,
luar sekolah atau masyarakat dan keluarga. Dengan mendasarkan pada konsep
pendidikan tersebut, maka sesungguhnya pendidikan merupakan pembudayaan atau
enculturation, suatu proses untuk mentasbihkan seseorang mampu hidup dalam
suatu budaya tertentu.
Melihat kenyataan itu tentu kita
akan berkaca kepada masa lalu bagaimana proses pendidikan di Indonesia ini
dimulai. Bangsa Indonesia telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan,
pertama dimulai dari praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budha, pendidikan
Islam, pendidikan zaman VOC, pendidikan kolonila Belanda, pendidikan zaman
pendudukan Jepang dan pendidikan zaman setelah kemerdekaan hingga sekarang.
Karena Belanda lebih lama menjajah
Indonesia, maka sistem pendidikan Belanda lah yang lebih melekat di Indonesia,
banyak contohnya antara lain dari bentuk sekolah, kelas dan susunan tempat
duduk, sama persis dengan pendidikan zaman Belanda dulu. Pendidikan yang
mendapat pengaruh dari penjajah terlama tersebut atau negeri Belanda tentu
sangat besar atau kentara. Maka berdasarkan latarbelakang tersebut tentu kita
akan timbul pertanyaan, seperti apakah pendidikan yang dilakukan atau
diterapkan oleh pemerintah colonial Belanda di “Indonesia”. Tetapi dalam hal
ini kami penulis hanya akan membatasi pembahasan dalam temporal Indonesia pada
masa colonial Belanda menerapkan Politik Etis atau politik balas budi.
2. Rumusan Masalah
·
Bagaiamanakah
perkembangan bidang pendidikan terkait kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintah belanda tersebut dalam bidang pendidikan?
·
apakah
membawa dampak perubahan yang sangat berarti atau hanya sekedar “lewat”?
·
bagaimana
perkembangan pendidikan pada masa politik etis tersebut?
3. Tujuan Penulisan
·
Mengetahui
bagaimana perkembangan bidang pendidikan dan apa saja kebijakan belanda pada
saat itu.
·
Mengetahui
dampak perubahannya.
·
Memahami
relevansi dari politik etis yang diprakarsai oleh Belanda.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Politik Etis
Politik Etis atau Politik Balas Budi
adalah suatu pemikiran yang menyatakan bahwa pemerintah kolonial memegang
tanggung jawab moral bagi kesejahteraan pribumi.
Pemikiran ini merupakan kritik terhadap politik tanam paksa (Wikipedia)
Politik etis dalah suatu haluan
politik baru yang berlaku di tanah jajahan Hindi Belanda sesudah tahun 1901,
yakni setelah ratu belanda melontarkan suatu pernyataan bahwa “Negeri Belanda
mempunyai suatu kewajiban untuk mengusahakan kemakmuran serta perkembangan
sosial dan otonomi penduduk pribumi” tujaun politik colonial baru ini adalah
memperhatikan kemajuan dan perkembangan penduduk serta memeperhatikan pengolahan
tanah. Dengan demikian secara teoretis “system eksploitasi diganti dengan
system pengajaran yang maju”. Orientasi baru itu dikenal dengan
namabermacam-macam seperti Ethis (etika), Politik kemakmuran atau politik
asosiasi (Ensiklopedia Nasional Indonesia).
Politik kolonial baru itu bukanlah
hadiah dari Ratu Belanda tetapi hasil pergolakan politik (dari kaum etis dan
kaum asosiasi yang terjadi pada masa itu di negeri Belanda)pergolakan politik
itu Nampak dalam petengahan abad ke-19 berupa perlawanan terhadap penerapan
politik colonial konservatif di Hindia belanda. Politik konservatif yang
bertujuan menerapkan eksploitasi tanah jajahan bagi Negara induk yang secara
konsekuen diterapkan Indonesia itu berupa system tanam paksa atau
Culturstelsel.
Munculnya kaum Etis yang di pelopori
oleh Pieter Brooshooft (wartawan Koran De Locomotief)
danC.Th. van Deventer (politikus) ternyata membuka
mata pemerintah kolonial untuk lebih memperhatikan nasib para pribumi yang
terbelakang.
Pada 17 September 1901, Ratu Wilhelmina yang
baru naik tahta menegaskan dalam pidato pembukaan Parlemen Belanda, bahwa
pemerintah Belanda mempunyai panggilan moral dan hutang budi (een eerschuld)
terhadap bangsa pribumi di Hindia Belanda. Ratu Wilhelmina menuangkan panggilan
moral tadi ke dalam kebijakan politik etis, yang terangkum dalam program Trias
Politika yang meliputi:
·
Irigasi
(pengairan), membangun dan memperbaiki pengairan-pengairan dan bendungan untuk
keperluan pertanian
·
Emigrasi
yakni mengajak penduduk untuk transmigrasi
·
Memperluas
dalam bidang pengajaran dan pendidikan (edukasi).
Banyak pihak menghubungkan kebijakan
baru politik Belanda ini dengan pemikiran dan tulisan-tulsian Van Deventer yang
diterbitkan beberapa waktu sebelumnya, sehingga Van Deventer kemudian dikenal
sebagai pencetus politik etis ini.
Kebijakan pertama dan kedua
disalahgunakan oleh Pemerintah Belanda dengan membangun irigasi untuk
perkebunan-perkebunan Belanda dan emigrasi dilakukan dengan memindahkan
penduduk ke daerah perkebunan Belanda untuk dijadikan pekerja rodi. Hanya pendidikan yang berarti bagi
bangsa Indonesia.
Pengaruh politik etis dalam bidang
pengajaran dan pendidikan sangat berperan sekali dalam pengembangan dan
perluasan dunia pendidikan dan pengajaran di Hindia Belanda.
Salah seorang dari kelompok etis yang sangat berjasa dalam bidang ini adalah
Mr. J.H. Abendanon (1852-1925) yang Menteri Kebudayaan, Agama,
dan Kerajinan selama lima tahun (1900-1905). Sejak tahun 1900 inilah berdiri
sekolah-sekolah, baik untuk kaum priyayimaupun
rakyat biasa yang hampir merata di daerah-daerah.
Sementara itu, dalam masyarakat
telah terjadi semacam pertukaran mental antara orang-orang Belanda dan
orang-orang pribumi. Kalangan pendukung politik etis merasa prihatin terhadap
pribumi yang mendapatkan diskriminasi sosial-budaya. Untuk mencapai tujuan
tersebut, mereka berusaha menyadarkan kaum pribumi agar melepaskan diri dari
belenggu feodal dan mengembangkan diri menurut model Barat, yang mencakup
proses emansipasi dan menuntut pendidikan ke arah swadaya (Wikipedia).
B. Pendidikan pada Masa Politik
Etis
Berkaitan dengan “arah etis”
(etische koers) yang menjadi landasan idiil dari langkah-langkah
dalam pendidikan di Hindia-Belanda, maka pemerintah mendasarkan kebijakanya
pada pokok-pokok pikran sebagai berikut:
·
Pendidikan
dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi golongan penduduk
bumiputera, untuk itu bahasa Belanda diharapkan menjadi bahasa pengantar di
Sekolah-sekolah.
·
Pemberian
pendidikan rendah bagi golongan bumiputera disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
Atas dasar itu maka corak dan system
pendidikan dan persekolahan di Hindia-Belanda pada abad ke-20 dapat ditempuh
melalui dua jalur tersebut. Disatu pihak melalui jalur pertama diharapkan dapat
terpenuhi kebutuhan ajan unsur dari lapisan atas serta tenaga terdidik bermutu
didik bagi keperluan industry dan ekonomi, dan dilain pihak terpenuhi kebutuhan
tenaga menengah dan rendah yang berpendidikan (Ary H, Gunawan, 20).
Secara tegas tujuan pendidikan
selama periode colonial memang tidak pernah dinyatakan, tetapi dari
uraian-urain di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan pendidikan antara
lain adalah untuk memenuhi keperluan tenaga buruh kasar untuk kepentingan kaum
modal Belanda, disamping ada sebagian yang dilatih dan dididik untuk menjadi
tenaga administrasi, tenaga teknik, tenaga pertanian, dan lain-lain yang
diangkat sebagi pekerja-pekerja kelas dua dan atau kelas tiga.
Menuriut penelitian komisi
pendidikan yang dibentuk oleh pemerintah Hindia-Belanda pada tahun
1918-1928 (“Hollands Onderwijs Commisie”) menunjukan bahwa, 2% orang-orang yang
mendapat pendidikan barat berdikari dan lebih dari 83% menjadi pekerja bayaran,
serta selebihnya menjadi pengangguran. Diantara yang 83% itu, 45% menjadi
pegawai negeri (ambtenaar). Pada umumnya gaji pegawai negeri dan para pekerja,
jauh lebih rendah dibandingkan dengan gaji-gaji orang barat mengenai pekerjaan
yang sama.
Pada masa ini keadaan social Belanda
keadaan social sengaja dipelihara agar terbagi dalam golongan-golongan atau
masyarakat yang hidup terkotak-kotak. Pembagian golongan social didasarkan pada
keturunan, bangsa dan status.
a. Pembagian
penduduk menurut hukum pada tahun 1848
·
Golongan
Eropa
·
Golongan
yang dipersamakan dengan golongan Eropa
·
Golongan
Bumiputera
·
Golongan
yang dipersamakan dengan Bumiputera
b. Pembagian pada tahun 1920
·
Golongan
Eropa
·
Golongan
Bumiputera
·
Pembagian
penduduk menurut keturunan atau status social.
·
Golongan
bangsawan (Aristokrat) dan pemimpin adat.
·
Pemimpin
agama (ulama)
·
Rakyat
biasa/jelata (Ary H, Gunawan, 23)
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan pendidikan di Indonesia
mendapati tahapan barunya menjadi lebih progresif ketika memasuki tahun 1900,
Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan
politik etis (Etische Politiek) pada tahun 1899 dengan motto “de Eereschuld”
(hutang kehormatan) dan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip-prinsip
atau arah etis (etische koers) yang diterapkan di bidang pendidikan pada masa
ini adalah Pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi
dan Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan Serta
Pendidikan rendah bagi pribumi disesuaikan dengan kebutuhan mereka.
B.
Kritik dan Saran
Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang
lainnya, Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi
perbaikan dan kesempurnaan Makalah kami. Jadikanlah makalah ini sebagai sarana
yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun. 1990. Ensiklopedi
Nasional Indonesia Jilid 7, (Politik Etis). Jakarta: PT. Cipta
Adi Pusaka.
Gunawan, H Ary.Kebijakan-Kebijakan
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Brugman, I.J.Politik Pengajaran
Http://
Wikipedia.or.wiki/Politik-etis
terimakasih postingannya sangat bermanfaat
BalasHapus