BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Faktor utama
diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan
keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan
untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830
di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di
Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri
dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro
merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari
pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden.
B.
Rumusan Masalah
·
Bagaimana
sistem pendidikan yang diterapkan Pemerintah Belanda pada zaman
Tanam Paksa.
·
Apa
Tujuan pemerintah Belanda mendirikan sekolah pada saat itu.
C. Tujuan Penulisan
·
Menambah
wawasan siswa dalam mengenal sistem tanam paksa
·
Mengadopsi
sistem pemerintah Belanda yang punya daya saing
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tanam Paksa
Pada
tahun 1830
pada saat pemerintah penjajah hampir bangkrut setelah terlibat perang Jawa
terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830), Gubernur Jenderal Van den Bosch
mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) dengan
tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang kosong, atau menutup defisit
anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem
tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah
kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen
utama desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan
sebagian tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk menggunakan
sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan menyisihkan sebagian
hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa
akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan
komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa
itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar
kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan
secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan
di Jawa.
Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga
kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang
permintaannya di pasar dunia sedang membubung, dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia
Belanda, sistem ini berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal kiriman dari Batavia. Pada 1860-an,
72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda.
Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai
kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun
mengalami surplus. Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC
yang telah bangkrut.
Akibat tanam paksa ini, produksi
beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon,
Jawa Barat.
Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini,
setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya
dihapus pada tahun 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar
Jawa masih terus berlangsung sampai 1915. Program yang dijalankan untuk
menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam UU Agraria 1870.
B. Dampak Tanam Paksa
Cultuurstelsel
menandai dimulainya penanaman tanaman komoditi pendatang di Indonesia secara
luas. Kopi dan teh, yang semula hanya ditanam untuk kepentingan keindahan taman
mulai dikembangkan secara luas. Tebu, yang merupakan tanaman asli, menjadi
populer pula setelah sebelumnya, pada masa VOC, perkebunan hanya berkisar pada
tanaman "tradisional" penghasil rempah-rempah
seperti lada,
pala,
dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan
kelaparan yang melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan
kesadaran pemerintah koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil
komoditi pertanian, dan secara umum peningkatan
kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun demikian, baru setelah
pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian dilakukan secara
serius.
Dalam
bidang pertanian, khususnya dalam struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap sebagai budak, melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang berprinsip pada pemerataan dalam
pembagian tanah.
Ikatan
antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat
perkembangan desa itu sendiri. Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang
tinggal di desanya, mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan kurangnya
wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
Dengan
adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerja mengenal sistem upah yang
sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk, mereka lebih mengutamakan sistem
kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota-kota pelabuhan maupun di
pabrik-pabrik gula.
Dalam
pelaksanaan tanam paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah
pertaniannya untuk ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa
menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa. Dengan
demikian hasil produksi tanaman eksport bertambah,mengakibatkan
perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut menguasai pertanian di
Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa
ini adalah timbulnya “kerja rodi”
yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah yang layak, menyebabkan
bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh pemerintah kolonial
berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya, jembatan, waduk,
rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial, dan benteng-benteng
untuk tentara kolonial.
Di samping itu, penduduk desa se
tempat diwajibkan memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut
surat-surat, barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan
melakukan berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai
kolonial dan kepala-kepala desa itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Cultuurstelsel adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1930 yang
mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami
komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Dan Hal ini berdampak
langsung pada perekonomian masyarakat dan Pemerintah Belanda itu sendiri,
Alhasil Belanda pun banyak mendirikan sekolah-sekolah kaum pribumi yang
bertujuan untuk menghasilkan SDM berkualitas yang kemudian ditempatkankan pada
instansi-instansi pemerintahan.
B. Saran
Keberhasilan
Belajar adalah Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan
bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, maka dari itu
saya mohon maaf bila ada kesalahan baik itu disengaja maupun tidak disengaja.
Kritik dan saran teman-teman sangat ditunggu.
DAFTAR PUSTAKA
Ekonomi Kerakyatan Indonesia. Sritua
Arief. Muhammadiyah University Press. 2002.
id.wikipedia.org/wiki/Tanam_Paksa
pelabuhankecil.blogspot.com
Http://www.infogsbi.blogspot.com
Thanks ya sob udah berbagi ilmu .....................
BalasHapusbisnistiket.co.id
terimakasih postingannya
BalasHapuscongrats