BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Agama Hindu-Budha tentu bukanlah sesuatu yang asing bagi
kita, karena kedua agama tersebut mempengaruhi perkembangan awal sejarah
Indonesia. Budha sebagai suatu ajaran dapat berkembang menjadi suatu agama
dengan kitab
sucinya Tripitaka (tiga keranjang) yang menggunakan bahasa
Pali
bahasa rakyat Magadha. Untuk selanjutnya agama Budha berkembang menjadi dua
aliran yaitu aliran Mahayana (kendaraan besar) dan aliran Hinayana (kendaraan
kecil). Kemudian kedua agama yaitu Hindu-Budha tersebut berkembang keberbagai
negara di Asia Timur maupun Asia Tenggara termasuk ke Indonesia yang akhirnya
mempengaruhi kebudayaan Indonesia begitu juga dengan pendidikan yang di ajarkan
agama Hindu Budha.sucinya Tripitaka (tiga keranjang) yang menggunakan bahasa
B. Rumusan Masalah
·
Bagaimana sistem pendidikan pada masa itu?
·
Apa saja tantangan yang dihadapi pada masa itu?
C. Tujuan Penulisan
·
Mengetahui sistem pendidikan pada masa Hindu-Budha
·
Mempelajari Asal usu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pendidikan di Zaman Hindu Budha
sejarah Hindu-Budha
di Indonesia akrab diawali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M,
antara lain: Kerajaan Hindu di Kutei (Kalimantan) dengan rajanya Mulawarman,
putra Aswawarman atau cucu Kundung(ga). Di Jawa Barat muncul Kerajaan Hindu
Tarumanegara dengan rajanya Purnawarman.
Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan.
Pada masa itu, eksistensi pulau Jawa telah disebut Ptolomeus (pengembara asal Alexandria – Yunani) dalam catatannya dengan sebutan Yabadiou dan demikian pula dalam epik Ramayana eksistensinya dinyatakan dengan sebutan Yawadwipa. Ptolomeus juga sempat menyebut tentang Barousai (merujuk pada pantai barat Sumatera Utara; Sriwijaya). Fa-Hien (pengembara asal China) dalam perjalanannya dari India singgah di Ye-po-ti (Jawa) yang menurutnya telah banyak para brahmana (Hindu) tinggal di sana. Maka tidak berlebihan jika Lee Kam Hing kemudian menyatakan bahwa lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia sejak periode permulaan.
Pada masa itu, pendidikan lekat terkait dengan agama.
Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China, ketika melewati Sumatera
pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil Budha dimana di dalamnya
berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam ilmu. Kuil-kuil tersebut
tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan nilai-nilai keagamaan, tetapi juga
seni dan ilmu pengetahuan. Lebih dari
seribu biksu Budha yang tinggal di Sriwijaya itu dikatakan oleh I-Ching
menyebarkan ajaran seperti yang juga dikembangkan sejawatnya di Madhyadesa
(India). Bahkan, di antara para guru di Sriwijaya tersebut sangat terkenal dan
mempunyai reputasi internasional, seperti Sakyakirti dan Dharmapala.
Sementara dari pulau Jawa muncul nama Djnanabhadra. Pada
masa itu, para peziarah Budha asal China yang hendak ke tanah suci India, dalam
perjalanannya kerap singgah dulu di nusantara ini untuk melakukan studi
pendahuluan dan persiapan lainnya.
Sejarah agama Hindu-Budha di Indonesia berbeda dengan
sejarahnya di India. Disini, kedua agama tersebut dapat tumbuh berdampingan dan
harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya
memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi.
Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada
zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat
dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal).
Sekalipun demikian, patut diketahui sempat adanya sejarah
konflik politik antar kerajaan yang berbeda agama pada masa-masa permulaannya.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain.
Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan
fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar. Dalam perkembangannya,
kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi
ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan
Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap
berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata
negara dan hukum.
Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman
ini antara lain: Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019), Bharata Yudha
karya Mpu Sedah (Kediri, 1157), Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125),
Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh, Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri,
1125), Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389), Arjunawijaya
karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid), Sotasoma karya Mpu Tantular, dan
Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak
lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di
padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar
yang bersifat spiritual religius. Para murid disini sembari belajar juga harus
bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum
dapatlah disimpulkan bahwa:
(1) Pengelola pendidikan
adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
(2) Bersifat tidak formal,
dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
(3) Kaum bangsawan biasanya
mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang
mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu;
(4) Pendidikan kejuruan atau
keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya
masing-masing.
B.
Pendidikan di Kerajaan Hindu-Budha
1.
Sriwijaya
Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah karena kehidupan social masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.
Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah karena kehidupan social masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.
Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat
Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh
kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang
dapat diketahui melalui peninggalanpeninggalan suci seperti stupa, candi atau
patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua
(Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
2.
Holing ( Chopo )
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ),
menurut bukti- bukti China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara
pastinya belum dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan
ini,ada yang menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di
Jawa barat, dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah
antara pekalongan dan Plawanagn di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan
perjalanan dari Cina.
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh
ajaran agama Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha.
Holing sendiri memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai
pusat pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut
ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk
menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada
664-665.
Dengan bertambahnya populasi penduduk dan peningkatan
standar pendidikan yang dipegang oleh kaum Brahmana, secara berlahan muncullah
sistem birokrasi, yang tersusunn atas: hierarki abdi kerajaan, bangsawan dan
tuan tanah, di masa kerajaan Hindu-Budha.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
·
Agama Hindu bersifat polytheisme dengan dewa
utamanya Trimurti yang terdiri dari Brahma, Wisnu dan Syiwa. Adapun kitab
sucinya adalah Weda. Sedangkan agama Budha muncul setelah agama Hindu. Awalnya
hanya sebagai suatu ajaran dalam rangka mencari kebenaran yang dilakukan oleh
Sidharta.
·
Pada masa Hindu-Budha, pendidikan lekat
terkait dengan agama. Menurut catatan I-Ching, seorang peziarah dari China,
ketika melewati Sumatera pada abad ke-7 M ia mendapati banyak sekali kuil-kuil
Budha dimana di dalamnya berdiam para cendekiawan yang mengajarkan beragam
ilmu. Kuil-kuil tersebut tidak saja menjadi pusat transmisi etika dan
nilai-nilai keagamaan, tetapi juga seni dan ilmu pengetahuan.
·
Pada masa Hindu-Budha ini, kaum Brahmana
merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu
dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana
yang terjadi di India.
·
Pada masa Hindu-Budha kaum bangsawan biasanya
mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang
mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu.
·
Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah
karena kehidupan social masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam
bidang pendidikan.
·
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang
terpengaruh oleh ajaran agama Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan
agama Budha.
·
Agama Hindu-Budha dapat tumbuh berdampingan
dan harmonis. Bahkan ada kecenderungan syncretism antara keduanya dengan upaya
memadukan figur Syiwa dan Budha sebagai satu sumber yang Maha Tinggi.
Sebagaimana tercermin dari satu bait syair Sotasoma karya Mpu Tantular pada
zaman Majapahit “Bhinneka Tunggal Ika”, yakni dewa-dewa yang ada dapat
dibedakan (bhinna), tetapi itu (ika) sejatinya adalah satu (tunggal).
B. Kritik Dan Saran
Keberhasilan
Belajar adalah Indikator yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam menyatakan
bahwa suatu proses belajar mengajar dapat dikatakan berhasil, maka dari itu
saya mohon maaf bila ada kesalahan baik itu disengaja maupun tidak disengaja.
Kritik dan saran teman-teman sangat ditunggu.
DAFTAR PUSTAKA
http://peziarah.wordpress.com/2007/02/05/pendidikan-di-zaman-hindu-budha/
http://id.wikipedia.org/wiki/Hindu
http://id.wikipedia.org/wiki/Buddha
http://yherlanti.wordpress.com/
http://phadli23.multiply.com/journal
http://sman2-pontianak.sch.id/home.php
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0408/16/utama/
http://priandoyo.wordpress.com/
http://elfarid.multiply.com/journal/item/574/Pendidikan_Adalah_Hak_Anak_Bangsa
http://wewaits.wordpress.com/2008/05/03/jika-pendidikan-adalah-pilihan/
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/perbedaan-antara-pendidikan-dan-pengajaran
http://www.penulislepas.com/v2/?p=206
postingannya bermanfaat, terimakasih!
BalasHapus